Satu tahun tinggal di Inggris, saat menerima raport anak saya yang masih primary school (SD) di sana, saya kaget. Raport tak bersampul dengan cover yang tidak lux sama sekali, seperti print-print-nan dari kertas A4. Masih kalah mewah dengan raport dari SD Bojong Kaler, SD Andir, atau SD Nyatnyono di Gunung Ungaran sana.
Semua raportnya berbahasa kualitatif, dan semuanya berpredikat: very good. Bahasa Inggris, Math, Science, semua mata pelajaran. Cukup lama, saya pelototi raport itu.Mata saya tak henti mencari, otak saya berputar menelisik. Tak ketemu informasi apa-apa yang menjelaskan fakta di tangan saya itu. Tapi ada rasa tak percaya menyembul di hati saya. Teringat saya akan pengalaman dapat komentar ‘well done’ dari supervisor yang ternyata, hanyalah abang-abang lambe, lips service, nyolu, tidak objjektif, misleading…..Pasti ada yang tersembunyi di sana, batin saya, kemrungsung. Sementara anak saya, yang terima raport itu, loncat kesana-kemari, terkekeh-kekeh mainan dengan istri saya, yang rasanya bagi mereka hidup gak ada susahnya.
Dengan semangat 66 saya datang paling pagi di hari pertama setelah semester break, menemui kepala sekolah. Mrs. Hattersley, di kantornya. Rambutnya yang pirang keemasan, dipotong ala Lady Dy, senyumnya merekah ramah.
“Sit down pease. What can I help you..?”
Tersedak saya mendapati keramahan wanita bule yang masih cukup muda. Saya usir bayangan bintang-bintang film Hollywood yang sekejab menyelinap: Sylvia Krestel, Edwich Fenech, Lily Carati, Sophia Lorens…Saya harus serius nih (sastro tenan ini …..pasti alumni penonton LFM ITB, urakan, jangan dibawa-bawa dari Balubur ke Bradford sini, batin saya menentramkan hati).
“I want to know the meaning of my daughter’s report and what can I help her to improve her capabilities and competencies in her school since she is the only one Indonesian in this school …”, kata saya megap-megap, antara mengemukakan pendapat, mengagumi kecantikan sang kepala sekolah, dan lain sebagainya, dan lain seterusnya……
Dengan lembut dia mengambil bundelan besar dari atas meja kerjanya.
“We have to speak by data,” ujarnya kalem sambil membuka buku tebal di tangannya. Dia mengemukakan, bahwa walaupun anak saya berusia 7 tahun tapi kemampuan bahasa Inggrisnya setara dengan anak 12 tahun, kemampuan math nya setara dengan anak 11 tahun. Katanya sambil menunjukan kolom-kolom dalam tabel yang berisi angka-angka yang begitu rapinya berjajar.
“How do you take this conclusion?” potong saya bengong mendapati betapa akuratnya data yang dimilikinya.
“Based on our national data. We have national test and we make map of it..”
” Hah…,” saya ternganga tak sengaja. Untung musim dingin. Belum banyak lalat berkeliaran.
” So, in this semester, your daughter will be in class A” sambung dia dengan senyum bangga.
” Is it different class?” tanya saya yang masih nggong aja dengan fenomena SD di sana.
” No, your daughter jump class. However in the new class there is class A,B, and C together. The A class is the best….”
Penjelasannya yang panjang lebar, betul-betul memuaskan rasa ingin tahuku. Bahwa walaupun berada dalam satu kelas, tugas, PR anak diberikan berdasarkan di mana dia duduk. Jadi tidak ada anak yang tidak naik kelas, yang perkembangannya lambat tetap naik kelas bersama teman-temanya, tapi dia di level B atau C.
Ohhh…. ini yang membuat Inggris bisa menerapkan fair play dalam segala aktivitasnya: bisnis, OR, politik, karena sejak SD sudah dirancang sistem pendidikan anak yang compete to their own competencies relates to maximum standard can be achieved. Jadi tidak lirak-lirik kesana kemari, menganggap teman sekolah sebagai saingan, tetangga sebagai kompetitor, atau party lain sebagai perebut rizky di masa gedhenya.. Melelahkan hidup dengan cara seperti itu.
Kalau begini ini kan Ujian Nasional tidak jadi momok bagi anak dan ibu yang sering kemrungsung cari bocoran. Pantes, mau dikasih kunci 20 buah, ya tetap aja kacau, wong yang bocorin aktornya, ya wasitnya yang ikut jadi pemain. Atas nama, kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sependek celana…..Padahal kan anggota DPR sudah berkali-kali study banding…ya namanya study sih… dari dulu kok study, mbok ya kaji banding atau benchmarking, naik kelas dikitlah….
Musim dingin datang menggigil. Sore cepat bertangkup ke bumi. Saya selonjorkan kaki di depan perapian. Kulihat 4 buku matematika dari 4 negara berbeda: UK, Jerman dan USA, yang ketiganya saya pinjam dari perpustakaan, dan satu dari Indonesia warisan penghuni flat sebelumnya. Kulihat, kubandingkan, level kelas dan tingkat kesulitannya. Kesimpulan: keeempatnya ….sama….Alhamdulillah negaraku setara kemampuan Math nya dengan 3 negara maju. Tapi math nya maju, kok negara ku gak maju-maju ya….